Andai, bentuk kebencian terhadap semua orang dapat diterjemahkan ke bentuk tindakan. Bagaimana bentuk ekspresi yang kemungkinan akan aku tampilkan?
Jawabannya: “gampang”. Karena komposisi kebencian sangat identik dengan amarah. Emosi amarah selalu paling mudah untuk ditampilkan, setidaknya bagiku begitu. Lalu, kecewa dan apatis merupakan komposisi lainnya yang kadang sesekali barganti tampil, tergantung dengan seberapa kental dan busuknya porsi kebencianku itu sendiri.
Layaknya amarah pada umumnya, aku mengungkapkannya secara verbal atau secara fisik. Memaki atau menyerang secara langsung. Tergantung.
Kadang kondisinya begitu menjemukan. Hingga kebencian itu kondisinya tidak lagi tepat ditunjukan dengan amarah. Melaikan apatis. Yang ku ekspresikan dengan cara menghindar, memutuskan hubungan, dan menjauhi segala sesuatu yang memicu terjadinya interaksi.
Kusadari belakangan ini ternyata aku lebih sering melampiaskan emosi dengan cara apatis. Sikap tempramenku lebih terkontrol. Mungkin merupakan efek dari bertambahnya usia. Aku sebisa mungkin menahan melampiaskan kebencian dengan amarah. Lalu, akibat dari kondisi kutahannya amarah tersebut membuatku menjadi lebih imajinatif. Mengimajinasikan tindakan penuh amarah yang kutahan tersebut terhadap orang yang menyebalkan itu. Membayangkan memakinya, menarik kerah bajunya, memecahkan hidungnya, atau bahkan menikamnya, membunuhnya.
kemudian kadang aku tersadar, kulihat di media beberapa orang lain kalap. Tanpa pikir panjang dan benar-benar langsung melakukannya, membunuh.
Lantas, bagaimana dengan cinta? Emosi super positif yang legal diekspresikan.
Apa tindakanku untuk menunjukkannya?
Jawabannya: “rumit”. Cinta bagiku tidak serta merta dapat langsung diungkapkan atau ditunjukkan. Mungkin karena lingkungan atau bahasa cinta dari orang tua. Aku tidak tahu pasti.
Yang jelas cinta sendiri menurutku bukanlah suatu perasaan yang tunggal. Emosi lain berupa bahagia, malu, cemas, atau merasa bersalah pun turut menjadi bagian dari cinta. Sehingga, untuk mengekspresikannya membuatku melakukan banyak pertimbangan.
Sebenarnya jelas sekali, akhirnya aku paham, bahasa cinta dari orang tua ku tersirat. Mereka tidak menunjukannya dengan kata-kata atau sikap perhatian. Mereka murni menunjukkannya dengan tindakan, yang waktu itu bodohnya tidak pernah kusadari.
Sebaliknya, aku hanya menangkap atau salah mengartikan teriakan mereka, pukulan mereka , atau juga sikap tegas mereka. Yang sebenarnya sedang mencetakku menjadi lelaki tangguh dan tegas. Kuharap didikan itu berhasil. Namun, tetap saja, aku kehilangan sisi roman. Menganggap cinta adalah hal yang aneh dan menggelikan. Karena bahasa itu begitu tersirat dari orang tua ku.
Malangnya, mau tidak mau aku basah juga dangan itu. Perlahan-lahan aku bermain-main dengan cinta. Menyukai rasa bahagianya;
menerima perasaan malu yang kadang menggelikan, bahkan membuat mual;
menyesap rasa cemasnya, cemas kehilangan, cemas tidak cukup baik bagi pasangan;
dan merasa bersalah, pada hal yang sebenarnya bukan apa-apa.
Semuanya.
Hingga akhirnya aku sadari, aku merasa tumbuh, merasa belajar, bahkan terbiasa dan menikmati apa itu cinta.
Menyenagkan.
Sampai akhirnya yang ku tahu hanya kecewa. Dan benci.
Aku tidak lagi apatis. Dan aku sudah melakukannya,
Membunuh.