Rumah

Pramo
2 min readJan 8, 2021

--

Kubanting pintu kamar untuk mengakhiri perdebatan malam itu. Terdengar suara gedoran dari luar disertai sumpah serapah ibu yang jelas sekali belum puas dengan situasi ini.

Kuhela napas panjang setelah sebelumnya kutarik dengan berat. Aku yakin wajahku pasti terlihat kusut dengan kerutan di antara kedua mataku. Kuusap pelipisku, kepalaku sakit—lebih lagi, dadaku begitu sesak. Air mata mulai menetes dari mataku yang sejak tadi telah berkaca-kaca.

Aku terduduk di pojok ruangan, di sebelah jendela yang berembun. Sebatang rokok kugenggam erat di tanganku, sementara bunyi jangkrik malam semakin menyesakkan suasana. Betapa aku membenci dunia ini. Rumah ini, lebih tepatnya. Dan orang-orang di dalamnya. Bahkan kebencian itu terus tumbuh di setiap hisapan rokokku.

Di satu sisi, aku bersyukur karena aku laki-laki. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa jika aku terlahir sebagai perempuan, aku akan lebih menderita. Aku membayangkan Surabaya, Jakarta, atau bahkan Manhattan. Mereka pasti lebih baik daripada tempat sialan ini. Atau setidaknya, lebih jauh dari sini. Aku melamun begitu lama, merenungkan berbagai kemungkinan. Ada begitu banyak opsi bagiku untuk pergi. Itu sedikit melegakan. Kuusap pipiku—air mataku sudah mengering. Aku putuskan untuk tidur.

Keesokan paginya, aku terbangun dengan perut lapar. Ternyata di atas meja sudah ada seporsi sarapan. Aku duduk dan bersiap menyuapinya ketika kudengar ketukan pintu, diikuti suara memanggil namaku.

Fred. Teman baikku.

Kupersilakan dia masuk. Dia terlihat kelaparan. Katanya, orang tuanya pergi ke luar kota dan dia kehabisan uang. Aku menggeser piringku ke arahnya. "Makanlah," ujarku, karena aku juga tidak punya uang tunai untuk membelikannya makanan segera.

Fred tersenyum lemah sebelum akhirnya menyantap sarapanku. Aku duduk di samping Fred, mengamatinya diam-diam.

Sejenak, aku berpikir tentang kehidupan yang sedang kami jalani. Tentang aku, tentang dia. Tentang rumah ini, tentang rumahnya. Aku merasa terjebak di tempat ini, sementara Fred... entahlah, dia terlihat lebih ringan, seolah tidak terlalu ambil pusing soal tempat beliau tinggal. Itu perbedaan besar di antara kami.

“Gila, aku lapar banget,” katanya dengan mulut penuh makanan. “Tapi tumben nyokap lo masak buat lo. Biasanya juga lo sendiri yang beli makanan.”

Aku terdiam. Menatap piring itu.

Aku tidak ingat ibu memasak sarapan hari ini.

Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ibu memasak untukku.

Perutku mendadak terasa mual.

Fred terus mengunyah. “Lagian ini masakan enak juga, ya.”

Aku bangkit dari kursi. Dadaku berdegup. Aku menoleh ke arah pintu kamar ibu yang sedikit terbuka.

Rumah ini mendadak terasa lebih sunyi dari biasanya.

Dan aku baru sadar... semalam, setelah aku membanting pintu kamar, tidak ada lagi suara ibu di luar.

--

--

Pramo
Pramo

No responses yet