Kerikil-Kerikil Depan Surau

Pramo
3 min readFeb 9, 2025

--

picture by: sugaurcoat

Aku bukan anak yang rajin sekolah. Aku juga bukan anak yang malas. Aku ini… anak yang selalu ada di daftar absensi, tapi tidak selalu ada di dalam kelas.

Setiap pagi aku tetap bangun, tetap pakai seragam, tetap berangkat sekolah. Tapi belajar? Itu opsional. Kadang aku serius mencatat, kadang aku hanya mencatat siapa yang serius. Semua tergantung faktor-faktor penting: apakah ada guru killer, apakah Manchester United tidak kalah lagi semalam, atau apakah hari ini hari sabtu?

Sekolahku tidak besar, tapi cukup untuk menampung ratusan siswa dan cita-cita mereka yang beragam—dari yang mau jadi dokter, mandor, sampai yang hanya ingin cepat lulus dan buka usaha rental PS.

Di sekolah ini, ada satu tradisi yang tidak tertulis tapi dijunjung tinggi: bolos dengan elegan.

Bolos di sekolahku bukan sembarang bolos. Kami tidak melakukannya dengan terang-terangan. Kami ini seniman. Profesional. Salah satu tempat paling strategis untuk bolos adalah surau di belakang sekolah.

Surau ini bukan surau biasa. Ia adalah tempat yang dihormati, tapi juga sering dijadikan markas besar bagi para siswa yang ingin rehat sejenak dari tekanan akademik. Entah itu untuk tidur siang, bermain kartu, atau sekadar membahas teori konspirasi kenapa nasi kantin rasanya selalu sama meskipun lauknya berbeda.

Aku sering ke sana. Duduk di tangga depan teras surau. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kerikil-kerikil kecil yang berserakan di halamannya.

Suatu hari, saat sedang menikmati hidup di depan surau, aku bertanya pada teman sebelahku, "Kenapa sih, di depan surau ini banyak kerikil?"

Dia menatapku cukup panjang, lalu berkata, "Mungkin biar kau punya suatu hal untuk dipikirkan."

Aku tersenyum satir menanggapi humornya. Berpura-pura cukup, meskipun sebenarnya masih tidak puas.

Ada banyak cara untuk menghindari pelajaran yang tidak disukai. Cara paling standar adalah pura-pura sakit. Cara yang sedikit lebih nekat adalah tiba-tiba menjadi relawan kegiatan sekolah. Dan cara yang paling berisiko, tapi punya kenikmatan tersendiri, adalah bolos dengan dalih kegiatan keagamaan.

Aku memilih yang terakhir.

Surau sekolah adalah zona abu-abu. Secara teknis, tidak ada larangan untuk berada di sana, tapi juga bukan tempat yang biasa dikunjungi di jam pelajaran, kecuali kalau kau benar-benar rajin—atau, seperti aku dan teman-teman, sedang mencari alasan untuk tidak duduk di kelas Matematika.

Tapi siang itu, nasib sedang bosan bersikap netral.

Kami sedang duduk santai di halaman surau, mengamati langit yang tampak lebih menarik dibanding rumus trigonometri, ketika seorang pria bertubuh gempal lewat. Bukan Guru Matematika. Lebih buruk.

Guru Olahraga.

Beliau menatap kami lama, seperti wasit yang baru saja menangkap basah pemain yang pura-pura cedera. Tidak ada yang bergerak. Bahkan angin pun tampaknya ikut menahan napas.

"Lagi apa kalian di sini?" tanyanya, suaranya datar, tapi penuh janji bahwa jawaban yang salah akan berakibat panjang.

Dalam kepanikan, aku meraih segenggam kerikil dari teras surau dan berkata mantap, "Lagi milih buat ganjel meja, Pak. Soalnya yang di kelas goyang terus."

Pak Guru menatap tanganku, lalu wajahku, lalu kembali ke tanganku. Sepertinya beliau sedang mempertimbangkan apakah ini adalah alasan paling kreatif yang pernah ia dengar, atau justru yang paling tolol.

Setelah keheningan yang terasa seperti sidang pengadilan, dia akhirnya mengangguk pelan.

"Baik," katanya. "Minggu depan, ikut remedial lari keliling lapangan."

Setelah hari itu, aku belajar satu hal.

Bukan tentang pentingnya ikut kelas matematika. Bukan tentang cara membuat alasan yang lebih jago. Dan jelas bukan tentang cara menghindari remedial.

Tapi bahwa dalam hidup ini, sesuatu yang kecil dan sepele—seperti kerikil di halaman surau—bisa jadi penyelamat… atau justru awal dari masalah yang lebih besar.

--

--

Pramo
Pramo

No responses yet