Beberapa lembar kertas berserakan di atas meja belajar, bahkan sampai tercecer ke lantai. Laptop tetap menyala, tanpa disertai musik. Kaleng minuman bersoda yang di taruh acak membuat ruangan ini tampak berantakan sekaligus menyedihkan.
Bagian yang paling pilu adalah sudah hampir satu jam aku duduk kosong menatap jalanan.
Lengang.
Hanya rintik hujan yang terlihat meriah. Guntur sesekali eksis mengejutkanku memecah kesunyian. Seolah fungsi kilat sebagai pemberi aba-aba tidak lagi efektif.
Tiba-tiba aku teringat kakak. Beliau pernah bilang “hujan adalah momen paling menyedihkan saat jauh dari rumah. Bikin kangen”
Sebenarnya, beberapa tahun terakhir aku sering teringat beliau ketika hujan.
Seolah-olah kalimat opini itu baru saja diucapkan dalam waktu dekat. Padahal aku saja lupa kapan kalimat itu diucapkan saking begitu lamanya. Yang aku ingat hanyalah beliau pernah mengucapkan kalimat tersebut.
Aku tertegun manyadari sudah cukup lama aku tidak berkomunikasi dengan beliau. Mungkin karena faktor kami saling sibuk dengan kehidupan masing-masing. Beliau pasti cukup repot dibuat keponakan-keponakanku.
Faktor berikutnya mungkin karena rentang usia kami terpaut jauh. Sehingga pembicaraan yang terjadi banyak sebatas formalitas saja. Bukan komunikasi yang terbangun natural atas kesamaan pemikiran.
Aku mendapati kontaknya di gawai. sehingga timbul niat untuk menelponnya dan menanyakan kabarnya. Namun, aku urungkan niat tersebut karena guntur menggelegar keras di luar.
Aku ingat ibu selalu berpesan agar tidak memainkan gawai di saat hujan. Karena khawatir dapat tersambar petir.
Ibu memang sering begitu, kolot. Penuh kekhawatiran dan setia kepada budaya lama.
Akhirnya aku tersadar itulah alasan mengapa aku dulu sering beradu argumen dengan ibu. Karena prinsip konservatif ibu yang suka aku usik.
Aku bertanya-tanya sedang apa ibu sore ini. Apakah di sana sedang hujan juga? Atau apakah ibu malah sedang menyiram bunga-bunga yang dulu enggan sekali aku siram?
Aku bisa saja lekas menelpon dan melanggar titah ibu. Namun, aku memilih menyesap kerinduan ini sendiri. Memilih menghukum diriku sendiri karena dulu begitu malas menyiram kembang ibu. Atau barangkali ini bentuk bakti dengan mendengarkan beliau “jangan bermain gawai disaat hujan”.
Aku beranjak dari tempatku. Mengambil kaos dan mengenakannya. Memang sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk tidak mengenakan baju di kamar, tetapi kali ini dinginnya menusuk. Sehingga aku melakukan hal yang berlawanan.
Aku begitu melankolis. Lesu dan tidak bergairah. Malas melakukan apapun. Seolah ingin pulang saja. Di rumah. Di bawah ketiak ibu dan dilindungi kakak. Seperti ketika usiaku enam tahun.
Aku tersentak, heran mengapa aku berada di sini. Ratusan mil jauhnya dari rumah. Apa motivasiku di sini? Aku tidak tahu.
Aku tidak memerlukan semua ini. Hidup monoton dalam siklus yang sama. Membosankan.
Aku bisa saja melawan sistemnya. Hidup liar dan bebas. Toh aku mungkin cukup tangguh, dengan tidak akan meminta bantuan orang tua ku lagi.
Ayah pernah bilang “Tidak usah takut kelaparan. Karena sesusah-susahnya kehidupan, dengan cuci piring pun kita dapat makan”.
Dengan begitu mengapa aku melakukan hal yang memberatkan ku. Aku bisa melakukan apa saja sesuai passion ku.
Lagi pula, aku tidak memiliki hasrat harta atau kuasa. Jadi aku tidak perlu kekayaan atau jabatan.
Aku kembali duduk di atas kasur menghadap jendela. Kembali mengamati hujan. Ku dapati boneka Teddy bear di sampingku. Milik adikku yang tertinggal ketika mengunjungi kos ku yang terakhir kali.
Aku berfikir akan mengembalikannya ketika aku pulang kampung. Adik ku pasti suka.
Anak itu lucu, pikirku. Juga cerdas. Aku menjadi teringat ia bercita-cita menjadi guru. Sungguh mulia.
Ohh tidak,
Tidak.
Aku menghela nafas panjang. Lamunan ku buyar. Aku tidak boleh egois dengan bersikap idealis.
Aku harus menjadi sesuatu untuknya. Aku harus menjadi kaya demi dirinya dan cita-cita mulianya. Untuk memuluskan pendidikannya.
Aku bangkit dari kasur menuju meja belajar. Memungut lembaran kertas tugasku yang tadi berserakan di lantai. Mengutuk diri sendiri yang telah membuang-buang waktu satu setengah jam. Lalu segera bergelut mengerjakan tugas skripsi ku kembali.