“Kenapa tidak suka?” Tanya gadis — yang menurutku begitu mencintaiku sampai ia rela memberikan pentol bakso miliknya yang terakhir— dengan kaget dan gelisah cemas.
Malam itu gerimis tanggung. Dengan intensitas gerimis yang jatuh ke bumi terasa labih lambat dari pada biasanya. Merah temaram lampu jalan menyenteri jalanan yang becek, sekaligus butiran gerimis yang seolah enggan jatuh kebumi.
Ku seka mulutku menggunakan tisu. Gadis itu masih menatapku, dalam. Menunggu jawabanku, sisa baksonya terasa tidak menarik lagi, mungkin karena pontol terakhirnya telah kulenyapkan. Aku menyesap minumanku, sebenarnya sedang memainkan tempo untuk memikirkan jawaban yang halus untuk menjawab pertanyaannya.
“Karena mereka begitu polos” Jawabku akhirnya. “Mereka itu makhluk yang lugu, begitu ekspresif” Tambahku. Tatapan gadis itu seolah menyuruhku terus bicara. “Maksudku, ketika mereka bahagia, mereka sedikit pun tidak memfilter perasaan mereka dan mengumbar-umbarkannya seolah dunia ini hanya milik mereka. Apalagi ketika mereka sedih, mareka sama sekali tidak bisa mengontrol perasaan mereka dan tentu saja dengan sangat mudah meluapkan emosinya”
“Yaa jelaslah” Sosor gadis itu dengan tidak percaya dan sedikit kecewa yang tampak dari matanya. “Setiap anak kecil memang begitu” tambahnya. “Lantas itu tidak bisa dijadikan alasan. Apa masalahnya dengan itu?” tanyanya.
“Entahlah..” Jawabku sambil menggoncang-goncang gelas minumanku lembut. “Yang jelas itu sangat menggangguku dan aku tidak suka dengan itu” kemudian kuletakkan minumanku lalu kutatap gadis itu jujur. “Itu yang membedakan kita dengan anak kecil” Kataku mencoba mengalihkan topik.
“Apa?” Tanya gadis itu polos.
“Nah, kan kamu tidak tahu” Jawabku penuh kemenangan. “Kita me-manage emosi kita. Aku sangat bahagia malam ini, tapi tidak kamu sadari” Godaku.
Gerimis semakin pudar, digantikan oleh angin dingin yang entah bagaimana terasa ceria menyentuh kulit.
“Buaya” Jawabnya tersipu sambil tersenyum yang kuyakin memiliki lebih dari satu makna.
Angin dingin itu melayang pergi meninggalkan apa yang dilaluinya. Tidak ada yang mengetahui dimana akhir angin itu akan berlabuh.
Aku menggenggam tangan gadis itu. “Thanks” Ucapnya dengan senyuman yang sukar kuartikan.
Jawabanku berupa anggukan kepala tipis, yang aku sendiri ragu maknanya berupa “iya” Atau “tidak”.
“Hei Bro” tiba-tiba sapa temanku Dave yang kulupakan bahwa ia berdiri disanding gadis itu “terimaksaih sudah datang ke wedding party kami” sumringah Dave, teman SMP-ku yang tampan, dewasa, dan penyayang anak kecil. Tangan ku beralih bersalaman dengan Dave, kemudian ku jawab keramahannya dengan senyuman paling tulus didunia.